Rabu, 21 Januari 2009

PROBLEMATIKA OBJEK DAN PELENGKAP

PROBLEMATIKA SEPUTAR KALIMAT BEROBJEK DAN BERPELENGKAP
DALAM BAHASA INDONESIA


BAB I PENDAHULUAN

Sebuah kalimat terdiri atas beberapa unsur. Unsur-unsur kalimat tersebut berdasarkan tatabahasa Baku Indonesia (Hasan Alwi, dkk. 2003: 326-332) terdiri atas fungsi predikat, subjek, objek, pelengkap, dan keterangan. Predikat merupakan konstituen pokok yang disertai konstituen subjek di sebelah kiri, kecuali dalam kalimat inversi (susun balik), di mana predikat mendahului atau terletak di sebelah kiri subjek. Namun, frekuensi pemakaian kalimat inversi dalam bahasa Indonesia sangat jarang.
Subjek merupakan konstituen sintaksis terpenting setelah predikat. Pada umumnya subjek berupa nomina, frasa nomina, atau kalusa. Contoh Adik mengerjakan PR ; Anak itu belum makan; Yang tidak ikut upacara akan ditindak. Pada umumnya, subjek terletak sebelum predikat.
Untuk membedakan predikat dan subjek mungkin sudah tidak ada masalah. Namun, kita sering mengalami kesulitan untuk membedakan antara objek dan pelengkap karena letak objek dan pelengkap berada di sebelah kanan predikat atau setelah predikat. Jika dalam kalimat dwitransitif perbedaan objek dan pelengkap masih dapat kita lihat dengan jelas, misalnya dalam kalimat Ibu membelikan adik baju baru. Unsur kalimat yang berfungsi sebagai objek dalam kalimat tersebut adalah adik, sedangkan unsur yang berfungsi sebagai pelengkap adalah baju baru. Hal ini mengacu ketentuan dalam tatabahasa baku, bahwa objek dalam kalimat aktif jika dipasifkan akan menjadi subjek, sedangkan pelengkap tidak bisa menduduki fungsi subjek.
Yang menjadi masalah adalah dalam kalimat taktransitif dan kalimat ekatransitif karena hanya terdapat satu objek dan satu pelengkap, seperti dalam kalimat (1a) Ibu mendagangkan sayur dan (1 b)Ibu berdagang sayur; Adik menangis tersedu-sedu (2a) dan Adik mengail ikan (2b). Apakah sayur ( kalimat 1a), sayur (kalimat 1b), tersedu-sedu ( kalimat 2a) ikan ( kalimat 2b) berfungsi sebagai objek atau pelengkap. Tentu saja hal ini sangat membingungkan bagi penutur bahasa yang masih awam. Untuk itu, dalam tulisan sederhana ini akan dibicarakan kalimat berobjek dan kalimat berpelengkap, agar penutur bahasa Indonesia memahami dengan jelas perbedaan antara objek dan pelengkap. Dengan demikian, penutur tidak akan ragu-ragu lagi untuk mengatakan atau menentukan bahwa unsur dalam kalimat tersebut adalah objek ataukah sebagai pelengkap.












BAB II KAJIAN TEORI

A. Predikat
Predikat merupakan konstituen pokok yang disertai konstituen subjek di sebelah kiri, dan jika ada, konstituen objek atau pelengkap, dan keterangan di sebelah kanan. Predikat biasanya berupa frase verbal atau frase adjectival. Pada kalimat berpola SP, predikat dapat pula berupa frase nominal, frase numeral, atau frase preposional, di samping frase verbal dan frase adjectival.
a. Ibunya guru Bahasa Indonesia. (P= Frase Nominal)
b. Kakaknya tiga. (P= Frase Numeral)
c. Ayah sedang ke kantor. (P= Frase Preposisi)
d. Dia sedang membaca. (P= Frase Verbal)
e. Gadis itu cantik sekali. (P=Frase Adjektiva)

B. Subjek
Subjek merupakan unsur yang sangat penting dalam sebuah kalimat setelah predikat. Pada umumnya, subjek berupa nomina, frase nomina, atau klausa seperti tampak pada contoh berikut
a. Anjing binatang buas. (S=Nomina)
b. Anak itu belum makan. (S=Frase nomilal)
c. Yang tidak mengerjakan PR akan dihukum. (S= Klausa)
Subjek sering juga berupa frase verbal, seperti terlihst dalam contoh kalimat berikut ini.
a. Membangun gedung bertingkat mahal sekali.
b. Berjalan kaki menyehatkan.
c. Berbahasa Jawa halus sulit sekali.
Selain dari kategori katanya, subjek bisa dikenali melalui letaknya dalam kalimat. Pada umumnya, subjek terletak di sebelah kiri predikat, tetapi jika unsur subjek lebih panjang dibandingkan unsur predikatnya, subjek sering juga diletakkan di akhir kalimat. Seperti tampak dalam contoh kalimat berikut.
(1 a) Manusia yang mampu tinggal dalam kesendirian tidak banyak. (S=di sebelah kiri P)
(1 b) Tidak banyak manusia yang mampu tinggal dalam kesendirian. (S=di sebelah kanan predikat)

C. Fungsi Objek
Objek adalah konstituen kalimat yang kehadirannya dituntut oleh predikat yang berupa verba transitif pada kalimat aktif. Letaknya selalu berada langsung setelah predikat. Dengan demikian, objek bisa dikenali dengan memperhatikan (1) jenis predikat yang dilengkapinya dan (2) ciri khas objek itu sendiri.
Objek biasanya berupa nomina atau frase nominal. Jika objek tergolong nomina, frase nominal tak bernyawa, atau persona ketiga tunggal, nomina objek itu dapat diganti dengan pronominal –nya, dan jika berupa pronominal aku, kamu (tunggal), bentuk –ku dan –mu dapat digunakan. Perhatikan contoh berikut.
(1 a) Adik mengunjungi Pak Suhardi.
(1 b) Adik mengunjunginya.
(2 a) Beliau mengatakan (bahwa) Ali tidak datang.
(2 b) Beliau mengatakannya.
(3 a) Saya ingin menemui kamu/-mu.
(3 b) Ina mencintai dia/-nya.
(3 c) Ibu mengasihi aku/-ku.

D. Fungsi Pelengkap
Pelengkap merupakan unsur kalimat yang letaknya setelah predikat. Karena letaknya setelah predikat inilah, sering orang menjadi bingung untuk menentukan apakah unsur ini merupakan objek atau pelengkap. Pada umumnya, pelengkap berwujud nomina, frase nominal, frase ferbal, frase adjectival, frase preposisional, atau klausa. Agar pemahaman terhadap pelengkap lebih jelas, berikut disajikan contoh-contak kalimat berpelengkap dengan predikat berupa verba taktransitif, dwitransitif, dan adjektiva.
1. (a) Orang itu bertubuh raksasa.
(b) Saya benci pada kebohongan.
(c) Negara ini berlandaskan hukum.
2. (a) Ayah membelikan saya mobil baru.
(b) Dia membeli rumah untuk anaknya.
(c) Kakak menuliskan surat untuk adik.
3. (a) Ibunya sakit kepala.
(b) Anak itu pandai menari.
(c) Beliau senang bermain tenis.




BAB III PEMBAHASAN

Dalam bahasa Indonesia dikenal kalimat berobjek dan kalimat berpelengkap. Dalam kalimat dwitransitif, pelengkap letaknya selalu setelah objek, misal dalam kalimat Ayah membelikan adik komputer. Adik dalam kalimat tersebut mendudukki fungsi sebagai objek, sedangkan komputer mendudukki fungsi sebagai pelengkap. Namun, dalam kalimat taktransitif dan kalimat ekatransitif , mungkin kita akan mengalami kesulitan untuk membedakan objek dan pelengkap karena letak keduanya sama-sama setelah predikat, misalnya dalam kalimat:
(1a) Ibu berdagang sayur.
(1b) Ibu mendagangkan sayur.
(2a) Anton sedang bermain bola.
(2b) Anton sedang memainkan bola.
(3a) Cacingan merupakan penyakit berbahaya.
(3b) Cacing memerlukan lahan basah.
(4a) Adik menyerupai ibu.
(4b) Ibu menanak nasi.
Dalam kalimat (1a) dan (1b) konstituen sayur letaknya sama-sama di belakang predikat, tetapi sayur dalam kalimat (1a) dan (1b) memilki fungsi yang berbeda. Konstituen sayur dalam kalimat (1a) berfungsi sebagai pelengkap, sedangkan dalam kalimat (1b) menduduki fungsi sebagai objek. Hal ini sesuai dengan teori yang terdapat dalam tatabahasa baku, bahwa objek dalam kalimat aktif jika diubah menjadi kalimat pasif akan menduduki fungsi subjek dalam kalimat pasif, sedangkan pelengkap tidak bisa. Jika kalimat (1b) dipasifkan akan menjadi Sayur didagangkan ibu, sedangkan Ibu berdagang sayur tidak bisa dipasifkan. Dengan demikian pelengkapnya tidak bisa menduduki fungsi subjek dalam kalimat pasif.
Perbedaan lain antara objek dan pelengkap adalah objek dapat diganti dengan kata ganti –nya, sedangkan pelengkap tidak bisa. Perhatikan contoh berikut.
(1a) Ibu berdagang sayur. (Pel) Ibu berdagangnya. (Tidak berterima)
(1b) Ibu mendagangkan sayur. (O) Ibu mendagangkannya. (berterima)
(2a) Anton bermain bola.(Pel) Anton bermainnya.(tdk berterima)
(2b) Anton sedang memainkan bola.(O) Anton sedang memainkannya (berterima)
(3a) Cacingan merupakan penyakit berbahaya. (Pel) Cacingan merupakannya. (tidak berterima).
(3b) Cacing memerlukan lahan basah.(O) Cacing memerlukannya. (berterima).
(4a) Adik menagis tersedu-sedu .(Pel) Adik menangisnya. (tidak berterima)
(4b) Ibu menanak nasi.(O) Ibu mananaknya. (berterima)

Untuk lebih memperjelas persamaan dan perbedaan antara objek dan pelengkap amati tabel di bawah ini.
Objek
Pelengkap
1. Berwujud frase nominal dan klausa
a. Adik membaca buku baru.
b. Pemerintah mengumumkan (bahwa) harga BBM akan naik. (Klausa)
1. Berwujud frase nominal, frase verbal, frase adjectival, frase preposisional, atau klausa
a. Adik berdagang barang-barang elektronika. (FN)
b. Anita belajar membaca cepat. (FV)
c. Bujangga bernyanyi keras sekali. (FA)
d. Penyanyi itu bersuara merdu sekali. (FP)
e. Ibu bercerita (bahwa) hidupnya dulu menderita. (klausa)
2. Berada langsung di belakang predikat.
a. Ayah membaca Koran.
b. Ibu sedang mengoreksi pekerjaan siswa.
c. Toni menulis surat cinta untuk kekasihnya.
2. Berada di belakang predikat jika tak ada objek dan di belakang objek kalau unsur ini hadir.
a. Anita belajar menyanyi.
b. Ibu membelikan adik komputer.
c. Ayah berjiwa besar.
3. Menjadi subjek akibat pemasifan kalimat.
a. Ani melukis pemandangan alam. Pemandangan alam dilukis Ani.
b. Azka membaca Al-Quran.
Al-Quran dibaca Azka.
c. Tiara menggendong adik.
Adik digendong Tiara.
3. Tak dapat menjadi subjek akibat pemasifan kalimat.
a. Adik bermain bola.
(bola tidak bisa mendudukki fungsi S)
b. Arman bertubuh raksasa. (raksasa tidak bisa mendudukki fungsi subjek)

4. Dapat diganti pronominal –nya
a. Azka menyanyikan sebuah lagu nostalgia.
Azka menyanyikannya.
b. Bujangga memperbaiki sepeda.
Bujangga memperbaikinya.
c. Pak guru menjelaskan masalah penting.
Pak Guru menjelaskannya.
4.Tak dapat diganti pronominal –nya.
a. Azka bernyanyi merdu.
Azka bernyanyinya. (tidak berterima)
c. Bujangga bermain gitar.
Bujangga bermainnya.(tidak berterima.
d. Pak Guru tersenyum bangga.
Pak guru tersenyumnya. (tidak berterima.

Dari tabel di atas jelaslah persamaan dan perbedaan objek dan pelengkap, sehingga keragu-raguan tentang fungsi objek dan pelengkap dapat dihindarkan.
BAB IV SIMPULAN
A. Simpulan
Dari uraian di depan, dapat disimpulkan bahwa objek dan pelengkap merupakan dua unsur dalam kalimat bahasa Indonesia memiliki persamaan dan perbedaan. Dengan memahami persamaan dan perbedaannya, kita tidak akan ragu-ragu lagi untuk menentukan unsur objek dan pelengkap dalam sebuah kalimat.
Unsur yang sangat penting untuk mengetahui apakah konstituen setelah predikat merupakan objek atau pelengkap adalah dengan menguji tersebut sesuai dengan kriteria atau ciri-ciri khususnya. Misalnya dengan memasifkan kalimat tersebut atau dengan mengganti unsur setelah predikat dengan pronominal –nya. Jika bisa dipasifkan atau konstituen setelah predikat dapat diganti dengan pronominal –nya, konstituen itu menduduki fungsi objek. Sebaliknya, jika kalimatnya tidak dapat dipasifkan atau konstituen setelah predikat tidak dapat diganti –nya, fungsi konstituen tersebut adalah sebagai pelengkap.
B. Saran
Agar pemahaman akan kalimat berobjek dan berpelengkap semakin mantap, hendaknya pemakai bahasa banyak membaca buku-buku tata bahasa Indonesia. Dengan memahami ilmunya, pemakai bahasa akan mudah menentukan apakah sebuah kalimat mengandung objek ataukah pelengkap.
Buku Tata Bahasa Indonesia Baku hendaknya dilengkapi dengan contoh-contoh kalimat berobjek dan berpelengkap yang memadai agar para penutur lebih mudah menemukan rujukan yang berhubungan dengan kalimat berobjek dan berpelengkap.



Buku Referensi
Abdul Chaer. 2003. Seputar Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Hasan Alwi, dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: BAlai Pustaka.

PROBLEMATIKA SEKITAR REDUPLIKASI

BAB I
PENDAHULUAN
Dalam berkomunikasi sehari-hari sering digunakan berbagai bentuk kata. Salah satu bentuk kata yang sering digunakan dalam kegiatan komunikasi tersebut adalah kata ulang. Kata ulang atau reduplikasi adalah proses pengulangan satuan gramatik, baik seluruhnya atau sebagian, baik dengan variasi fonem maupun tidak. Hasil pengulangan itu disebut kata ulang, sedangkan satuan yang diulang merupakan bentuk dasarnya (Ramlan2001:64). Misalnya kata ulang rumah-rumah dari bentuk dasar rumah, kata ulang perumahan-perumahan dari bentuk dasar perumahan, kata ulang berjalan-jalan dari bentuk berjalan. Namun, dalam kata ulang tertentu mungkin mengalami kesulitan dalam menentukan bentuk dasarnya misalnya pada kata ulang bolak-balik apakah bentuk dasarnya bolak atau balik?, kata ulang gerak-gerik bentuk dasrnya garak atau gerik? Kata ulang berlari-lari berasalal dari bentuk dasar belari atau lari? Kata ulang bersalam-salaman berasal dari bentuk dasar bersalam, salaman, atau bersalaman?.
Di samping itu sering juga muncul permasalahan dalam proses pembentukan kata ulang tersebut, sebagai contoh kereta-keretaan apakah proses pembentukkannya kereta-kereta kemudian mendapat sufiks –an (kereta ► kereta-kereta ►keretaan) atau dari bentuk dasar kereta diulang dan mendapatkan bubuhan afiks –an (kereta ► kereta-keretaan).
Permasalahan lain yang muncul adalah apakah bentuk alun-alun, anai-anai, simpang-siur, biri-biri dan kata yang sejenis ini dapat dimasukkan sebagai kata ulang? Tentu saja hal ini sangat membingungkan bagi para pemakai bahasa Indonesia yang masih awam berkaitan dengan menentukan bentuk dasar, proses pengulangan, dan kata-kata yang menyerupai kata ulang dapatkah disebut kata ulang atau bukan.
Berdasarkan uraian tersebut, makalah ini akan membahas mengenai cara menentukan bentuk dasar kata ulang, proses pembentukan kata ulang, dan menentukan kata ulang dengan bentuk-bentuk yang menyerupai kata ulang.










BAB II
PEMBAHASAN

Sebelum dibahas beberapa permasalahan yang berkaitan dengan kata ulang seperti yang telah diuraikan tersebut berikut akan disampaikan pengertian-pengertian tentang kata ulang, ciri-ciri kata ulang, jenis-jenis kata ulang, serta makna kata ulang
A. Beberapa pengertian reduplikasi menurut berbagai pakar kebahasaan.
Ramlan (2001:63) menyatakan bahwa proses pengulangan atau reduplikasi ialah pengulangan satuan gramatik, baik seluruhnya maupun sebagiannya, baik dengan variasi fonem maupun tidak. Sedangkan Muslich (1990:48) berpendapat bahwa proses pengulangan merupakan peristiwa pembentukan kata dengan jalan mengulang bentuk dasar, baik seluruhnya maupun sebagian, baik bervariasi fonem maupun tidak, baik berkombinasi dengan afiks maupun tidak.
Sementara itu Solichi (1996:9) menyatakan proses reduplikasi yaitu pengulangan satuan gramatikal, baik selurunya maupun sebagiannya, baik dengan variasi fonem maupun tidak. Hasil pengulangan disebut kata ulang, satuan yang diulang merupakan bentuk dasar.
Berdasarkan beberapa pendapat mengenai definisi kata ulang tersebut dapat disimpulkan bahwa proses reduplikasi adalah pengulangan satuan gramatikal, baik seluruhnya maupun sebagaian, baik dengan variasi fonem maupun tidak yang menghasilkan kata baru yangdi sebut kata ulang.

B. Ciri khusus reduplikasi.
1. Selalu memiliki bentuk dasar dan bentuk dasar kata ulang selalu ada dalam pemakaian bahasa. Maksud ”dalam pemakaian bahasa” adalah dapat dipakai dalam konteks kalimat dan ada dalam kenyataan berbahasa.
Contoh:
Kata Ulang
Bentuk Dasar
Mengata-ngatakan
Mengatakan, bukan mengata
Menyatu-nyatukan
Menyatukan, bukan menyatu (sebab tidak sama dengan kelas kata ulangnya)
Melari-larikan
Melarikan, bukan melari
Mempertunjuk-tunjukan
Mempertunjukkan, bukan mempertunjuk
Bergerak-gerak
Bergerak, bukan gerak (sebab kelas katanya berbeda dengan kata ulangnya)
Berdesak-desakkan
Berdesakan, bukan berdesak

2. Ada hubungan semantis atau hubungan makna antara kata ulang dengan bentuk dasar. Arti bentuk dasar kata ulang selalu berhubungan dengan arti kata ulangnya. Ciri ini sebenarnya untuk menjawab persoalan bentuk kata yang secara fonemis berulang, tetapi bukan merupakan hasil proses pengulangan.
Contoh:
§ Bentuk alun bukan merupakan bentuk dasar dari kata alun-alun.
§ Bentuk undang bukan merupakan bentuk dasar dari kata undang-undang.
3. Pengulangan pada umumnya tidak mengubah golongan kata atau kelas kata. Apabila suatu kata ulang berkelas kata benda, bentuk dasarnya pun berkelas kata benda. Begitu juga, apabila kata ulang itu berkelas kata kerja, bentuk dasarnya juga berkelas kata kerja. Lebih jelasnya, jenis kata kata ulang, sama dengan bentuk dasarnya.
Contoh:
Kata Ulang
Bentuk Dasar
Gedung-gedung (kata benda)
Gedung (kata benda)
Sayur-sayuran (kata benda)
Sayur (kata benda)
Membaca-baca (kata kerja)
Membaca (kata kerja)
Berlari-lari (kata kerja)
Berlari (kata kerja)
Pelan-pelan (kata sifat)
Pelan (kata sifat)
Besar-besar (kata sifat)
Besar (kata sifat)
Tiga-tiga (kata bilangan)
Tiga (kata bilangan)
Namun demikian, ada juga pengulangan yang mengubah golongan kata, ialah pengulangan dengan se-nya, misalnya:
Tinggi ► setinggi-tingginya
Luas ► seluas-luasnya
Cepat ► secepat-cepatnya
Kata-kata setinggi-tingginya, seluas-luasnya, dan secepat-cepatnya termasuk golongan kata keterangan karena kata-kata tersebut secara dominan menduduki fungsi keterangan dalam suatu klausa, sedangkan bentuk dasarnya, ialah tinggi, luas, dan cepat termasuk golongan kata sifat.
C. Ciri umum kata ulang sebagai proses pembentukan kata.
1. Menimbulkan makna gramatis.
2. Terdiri lebih dari satu morfem (Polimorfemis).
D. Jenis-jenis Kata Ulang
a. Kata ulang utuh, adalah kata ulang yang diulang secara utuh.
Contoh: gedung + { R } = gedung-gedung.
b. Kata ulang sebagian, adalah kata ulang yang pada proses pengulangannya hanya sebagian dari bentuk dasar saja yang diulang.
Contoh: berjalan + { R } = berjalan-jalan
c. Kata ulang berimbuhan, adalah kata ulang yang mendapatkan imbuhan atau kata ulang yang telah diberi afiks. Baik itu prefiks, infiks maupun sufiks.
Contoh: mobil + { R } = mobil-mobil + an = mobil-mobilan.
d. Kata ulang dengan perubahan fonem,
Contoh: sayur + { R } = sayur-mayur
Contoh: gerak-gerik, sayur-mayur, lauk-pauk
D. Makna Kata Ulang
Makna kata ulang antara lain sebagai berikut.
1. Kata ulang yang menyatakan banyak tidak menentu
- Pulau-pulau yang ada di dekat perbatasan dengan negara lain perlu diperhatikan oleh pemerintah.
2. Kata ulang yang menyatakan sangat
- Anak kelas 3 ipa 1 orangnya malas-malas dan sangat tidak kooperatif.
3. Kata ulang yang menyatakan paling
- Setinggi-tingginya Joni naik pohon, pasti dia akan turun juga.
4. Kata ulang yang menyatakan mirip / menyerupai / tiruan
- Adik membuat kapal-kapalan dari kertas yang dibuang Pak Jamil tadi pagi.
5. Kata ulang yang menyatakan saling atau berbalasan
- Ketika mereka berpacaran selalu saja cubit-cubitan sambil tertawa.
6. Kata ulang yang menyatakan bertambah atau makin
- Biarkan dia main hujan! lama-lama dia akan kedinginan juga.
7. Kata ulang yang menyatakan waktu atau masa
- Datang-datang dia langsung tidur di kamar karena kecapekan.
8. Kata ulang yang menyatakan berusaha atau penyebab
- Setelah kejadian itu dia menguat-nguatkan diri mencoba untuk tabah.
9. Kata ulang yang menyatakan terus-menerus
- Mirnawati selalu bertanya-tanya pada dirinya apakah kesalahannya pada Bram dapat termaafkan.
10. Kata ulang yang menyatakan agak (melemahkan arti)
- Kepala adik pusing-pusing.
11. Kata ulang yang menyatakan beberapa
- Mas parto berminggu-minggu tidak apel ke rumahku. Ada apa ya?
12. Kata ulang yang menyatakan sifat atau agak
- Wajahnya terlihat kemerah-merahan ketika pujaan hatinya menyapa dirinya.
E. Cara Menentukan Bentuk Dasar Kata Ulang

Kata Ulang
Bentuk Dasar
berjalan-jalan
Berjalan (bukan jalan), karena merupakan kata ulang sebagian dan berjalan berjenis kata kerja
tumbuh-tumbuhan
Tumbuhan (bukan tumbuh), karena tumbuhan kata benda sedangkan tumbuh kata kerja(kata ulang tidak mengubah kelas kata)
berpandan-pandangan
Berpandangan (bukan pandangan), karena berpandangan merupakan kata kerja, sedangkan pandangan kata benda, berpandang tidak dijumpai dalam tuturan.
Gerak-gerik
Gerak (bukan gerik), karena tidak ada bentuk gerik berdiri sendiri. Selain itu ada bentuk bergerak, gerakan, tetapi tidak ada bentuk bergerik, gerikan
Bolak-balik
Balik (bukan balik), karena ada bentuk berbalik, membalikkan, tetapi tidak ada bentuk berbolak atau membolakkan
Robak-rabik
Robek (bukan robak atau rabik0 karena ada bentuk dirobek, robekan, merobek, tetapi tidak ada bentuk merobak, dirobak, merabik, dirabik
Lauk-pauk
Lauk (bukan pauk), karena tidak dijumpai dalam tuturan
Ramah-tamah
Ramah (bukan tamah), karena tidak dijumpai dalam tuturan


E. Cara Menentukan Proses Kata Ulang
Pada kata ulang tertentu sering dijumpai adanya kesulitan dalam menentukan proses pengulangannya seperti telah diuraikan di depan. Berikut akan diuraikan mengenai proses pengulangan kata yang yang sering menimbulkan permasalahan, di antarnya:
Pengulangan bentuk dasar kereta menjadi kereta-kereta menyatakan makna ’banyak’, sedangkan pada kereta-keretaan tidak terdapat makna ’banyak’. Yang ada makna ’sesuatu yang menyerupai bentuk dasar’. Jelaslah bahwa satu-satunya kemungkinan ialah kata kereta-keretaan terbentuk dari bentuk dasar kereta yang diulang dan mendapat afiks –an. Namun, Menurut Ramlan, proses tersebut dinilai tidak mungkin jika dilihat dari faktor makna. Contoh kata ulang yang lain sebagai berikut:
mobil → mobil-mobilan
gunung → gunung-gunungan
orang → orang-orangan
anak → anak-anakan
kereta → kereta-keretaan

Demikian juga kata-kata kehitam-hitaman, keputih-putihan, kemerah-merahan, sejelek-jeleknya, setinggi-tingginya, sedalam-dalamnya, dan sebagainya, juga terbentuk dengan cara yang sama sebagaimana cara di atas, yaitu dengan pengulangan dan pembubuhan afiks pada bentuk dasarnya:
hitam → kehitam-hitaman
putih → keputih-putihan
merah → kemerah-merahan
jelek → sejelek-jeleknya
tinggi → setinggi-tingginya
dalam → sedalam-dalamnya
Proses pembentukan kata ulang berimbuhan seperti ini, sebenarnya sama dengan kereta menjadi kereta-kereta dan ditambahui imbuhan -an. Hanya saja, bentuk kereta-keretaan tidak berasal dari kereta-kereta yang diberi imbuhan -an, karena secara makna keduanya tidak ada kesamaan.

F. Bentuk-bentuk yang menyerupai Kata Ulang
Ada beberapa bentuk yang sering dianggap sebagai kata ulang, tetapi sebenarnya bentuk-bentuk tersebut oleh beberapa pakar bahasa tidak disebut sebagai kata ulang atau ada pakar bahasa yang mengelompokkan sebagai kata ulang semu. Kata-kata tersebut antara lain:
mondar-mandir
compang-camping
kocar-kacir
kupu-kupu
gado-gado
onde-onde
Bentuk-bentuk tersebut tidak pernah dijumpai berdiri sendiri dalam tuturan, misalnya onde, kupu, gado, mondar, camping. Dengan demikian kata tersebut merupakan bentuk dasar. Lebih lanjut Soedjito hanya mengelompokkan bentuk- bentuk seperti kupu-kupu, onde-onde, dan gado-gado saja dalam kata ulang semu. Sedangkan mondar-mandir, compang-camping, dan kocar-kacir, dikelompokkannya dalam bentuk kata ulang berubah bunyi, hanya saja bentuk dasarnya tidak diketahui.
Sementara itu, sering juga dijumpai bentuk simpang-siur, sunyi-senyap, beras-petas yang sementara ini oleh orang awam dianggap sebagai kata ulang, ternyata juga bukan merupakan kata ulang. Berkaitan dengan masalah ini, Ramlan (2001:76), menjelaskan bahwa bila bentuk tersebut dianggap sebagai kata ulang, berarti bahwa siur perubahan dari simpang, senyap perubahan dari sunyi, dan petas dari beras. Mungkinkah siur dari simpang, senyap dari sunyi, dan petas dari beras? Secara deskripsi tentu hal ini tidak mungkin. Perubahnnya sangat sukar dijelaskan. Kata-kata tersebut, kiranya lebih tepat dimasukkan dalam golongan kata majemuk yang salah satu morfemnya berupa morfem unik.












BAB III
PENUTUP
Reduplikasi merupakan salah satu cara untuk membentuk kata dalam bahasa Indonesia, selain afiksasi dan komponisasi. Proses reduplikasi dapat berlangsung apabila ada kata yang menjadi dasar ulangannya. Jadi, yang menjadi dasar ulangan harus kata. Jika dasar ulang tersebut telah mengalami reduplikasi, terbentuklah kata yang disebut kata ulang.
Permasalahan yang muncul dalam proses reduplikasi antara lain mengenai penentuan bentuk dasar kata ulang tertentu, proses reduplikasi pada kata ulang tertentu , dan bentuk-bentuk yang menyerupai reduplikasi apakah dapat digolongkan ke dalam bentuk reduplikai atau tidak. Permasalahan-permasalahan itu kiranya dapat diatasi dengan membaca beberapa tulisan yang membahas reduplikasi. Selain itu, permasalah seputar reduplikasi bisa juga diatasi dengan cara mengikuti diskusi ilmiah yang membahas mengenai masalah-masalah kebahasaan pada umumnya dan lebih khusus lagi yang terfokus pada masalah reduplikasi.
Demi menghindari adanya kesalahan atau kerancuan dalam berbahasa, disarankan bagi pengguna bahasa untuk menggunakan tata cara yang umum dan banyak digunakan oleh masyarakat. Namun, para pengguna bahasa juga harus mengoreksi lagi, apa tata cara tersebut sesuai dengan stadar dan tata cara yang telah disepakati dalam konferensi. Pemakaian bahasa yang umum belum tentu benar, justru karena pemakaiannya yang telah menyeluruh itu kesalahannya jadi tidak tampak.
DAFTAR PUSTAKA
Keraf, Gorys. 1980. Tata Bahasa Indonesia. Jakarta: Nusa Indah.
Muslich, Masnur. 1990. Tata Bentuk Bahasa Indonesia Kajian ke Arah Tata Bahasa Deskriptif. Malang: YA 3 Malang.
Ramlan. 2001. Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: C.V. Karyono.
Solichi, Mansur. 1996. Hand-Out Morfologi. Malang: IKIP Malang.
Soedjito. 1995. Morfologi Bahasa Indonesia. Malang: IKIP Malang.

PERAN COOPERATIF LEARNING DALAM PEDAGOGIK TRANSFORMATIF

PERAN COOPERATVE LEARNING DALAM PEDAGOGIK TRANSFORMATIF
A. Pendahuluan
Pendidikan dalam konteks pembangunan nasional mempunyai fungsi: (1) pemersatu bangsa, (2) penyamaan kesempatan, dan (3) pengembangan potensi diri. Pendidikan diharapkan dapat memperkuat keutuhan bangsa dalam Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI), memberikan kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan memungkinkan setiap warga negara untuk mengembangkan potensi yang dimiliki secara optimal (Tim Pustaka Yustisia, 2007:30).
Berkait dengan fungsi pendidikan sebagai alat pemersatu bangsa, rasa-rasanya belum dapat dinikmati oleh sebagian warga negara. Hal ini ditengarai dengan banyaknya peristiwa tawuran massal yang dilakukan oleh beberapa pelajar di tingkat dasar terutama di kota-kota besar, seperti Jakarta. Bagi masyarakat Jakarta, meyaksikan tawuran antarpelajaran hampir menjadi hidangan setiap hari. Hal ini menunjukkan salah satu indikator gagalnya proses pendidikan yang selama ini telah dilaksanakan. Jika tawuran dilakukan oleh para pelajar tingkat dasar, hal ini mungkin bisa sedikit dimaklumi karena mereka berada dalam masa peralihan dari anak menuju dewasa. Jadi mereka cenderung belum dapat mengendalikan emosi.
Bukti lain yang menunjukkan kegagalan fungsi ini adalah terjadinya tawuran antarpendukung calon kepala daerah yang kalah dan yang menang, baik daerah tingkat kabupaten maupun provinsi di banyak tempat di NKRI yang kita cintai dan banggakan bersama. Namun, yang lebih menyesakkan dada adalah tawuran yang dilakukan oleh para mahasiswa yang notabenenya mereka ini calon pemimpin-pemimpin bangsa yang seharusnya bisa berpikir secara rasional, kritis, dan hati-hati dalam setiap bertindak tidak hanya mengandalkan otot dan kekuatan fisik belaka.
Jika menengok sejarah, kita dulu dikenal bangsa yang mengutamakan kebersamaan. Bangsa yang dikenal oleh bangsa lain sebagai bangsa yang ramah, sopan, berbudi pekerti yang luhur. Bangsa yang suka bergotong royong dalam menyelesaikan suatu pekerjaan sekecil apapun. Tetapi, mengapa sekarang kita menjadi bangsa yang beringas (ingat kejadian Banyuwangi dan Madura beberapa tahun yang lalu). Menjadi bangsa yang mudah terprovokasi. Menjadi bangsa yang saling memusuhi bangsa sendiri, tidak bisa rukun, kompak, dan mengeluarga seperti keinginan para pendahulu kita.
Bertolak dari apa yang telah disampaikan di depan, sudah saatnya pendidikan sebagai salah satu instrument penting pembangun bangsa menjadi bangsa yang cerdas, berakhlak mulia, dan tanggap terhadapan perkembangan IPTEK. Sudah sewajarnya guru sebagai komponen penting suatu bangsa mulai bangkit dengan semangat untuk berperan serta dalam mengatasi permasalahan besar bangsa yang dihadapi sekarang ini. Pendidikan hendaknya mampu menumbuhkembangkan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan YME, rasa persatuan dan kesatuan, wawasan kebangsaan, sifat demokrasi, dan kepribadian yang baik.
Guru sebagai ujung tombak pendidikan hendaknya mampu melaksanakan pembelajaran yang berkualitas, memberikan keteladanan dalam bersikap dan bertindak sehingg guru menjadi figur yang dapat diteladani. Mulyasa (2007: 10) menyatakan bahwa guru profesiaonal tidak hanya dituntut menguasai bidang ilmu, bahan ajar, metode pembelajaran, memotivasi peserta didik, memiliki pemahaman yang tinggi dan wawasan yang luas terhadap dunia pendidikan, tetapi harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang hakikat manusia dan masyarakat. Pada hakikatnya manusia itu adalah makhluk sosial. Makhluk yang selalu membutuhkan bantuan dari orang lain. Makhluk yang tidak dapat berdiri sendiri. Oleh karena itu, pendidikan yang dilksanakan di sekolah hendaknya dapat mengembangkan kemampuan berinteraksi siswa dengan siswa sehingga mereka akan terampil dalam bersoisalisasi dengan siapa pun setelah mereka terjun dalam kehidupan di masyarakat kelak.

B. Peran Cooperative Learning dalam Transpormatif Pedagogik
Tilaar (2005:92) menyatakan bahwa yang dimaksud pedagogik transformatif adalah proses yang mentransformasikan kehidupan ke arah yang lebih baik. Kenichi Ohmae (dalam Tilaar 2005:91) seorang ahli fisika tamatan Massachustts Institute of Technology yang menjadi ekonom. Ia melihat perubahan global menuntut tiga hal yang diperlukan, terutama di bidang ekonomi. Ketiga hal tersebut sebagai berikut.
1. Perubahan Teknologi
2. Perubahan pribadi dalam menghadapi teknologi tersebut, dan
3. Perubahan di dalam organisasi.
Pedagogik sebagai suatu bidang ilmu-ilmu sosial tentunya tidak dapat menutup mata terhadap perubahan global yang terjadi. Oleh karena itu, pendidikan merupakan aspek kebudayaan mengalami perubahan di dalam era globalisasi, maka proses pendidikan tidak bisa lepas dari perubahan-perubahan di dalam masyarakat. Bahkan pendidikan yang berkenaan dengan pembinaan pribadi manusia seharusnya berfungsi sebagai agen perubahan itu sendiri. Menurut Sarwiji Suwandi (2004: 27), penekanan pada aspek keterampilan termasuk di dalamnya berkomunikasi dan bekerja sama dalam kegiatan pembelajaran sangatlah tepat karena dalam kenyataan hidup orang sering dituntut memiliki kompetensi yang bersifat sangat spesifik. Di dalam dunia kerja pun dituntut kemampuan bekerja sama, pembagian tugas, dan tanggung jawab bersama (sharing assignment and responsibility). Oleh karena itu, pembelajaran yang steril dari peristiwa-peistiwa yang berlangsung di luar sekolah tidaklah tepat. Pembelajaran harus dilakukan secara holistik dengan mengintegrasikan aspek intelektual, emosional, dan spiritual dalam kesatuan yang utuh.
Pembelajaran adalah interaksi siswa dengan sumber-sumber belajar untuk membentuk suatu kompetensi tertentu. Suasana pembelajaran di kelas perlu dirancang sedemikian rupa sehingga siswa mendapatkan kesempatan untuk berinteraksi satu sama lain. Dalam interaksi ini, siswa akan membentuk komunitas yang memungkinkan mereka mencintai proses belajar dan mencintai satu sama lain. Oleh karena itu, guru perlu menciptakan suasana belajar yang memberi kesempatan siswa bekerja sama secara gotong royong. Johnson & Johnson, 1989 (dalam Lie, 2004: 7) menyatakan bahwa suasana belajar cooperative learning menghasilkan prestasi yang lebih tinggi, hubungan yang lebih positif, dan penyesuaian yang lebih baik daripada suasana belajar yang penuh dengan persaingan dan memisah-misahkan siswa.
Slavin (2008: 5) menyatakan bahwa salah satu alasan terpenting mengapa pembelajaran cooperative learning dikembangkan adalah para pendidik dan ilmuwan sosial telah lama mengetahui tentang pengaruh yang merusak dari persaingan yang sering digunakan di dalam kelas. Bentuk-bentuk persaingan yang biasanya digunakan di dalam kelas jarang sekali bersifat efektif dan sehat. Slavin memberi contoh ketika dalam pembelajaran guru member pertanyaan,”Siapa tahu yang dimaksud majas?” Dari pertanyaan guru ini sepuluh orang mengangkat tangan, sedangkan siswa yang lain tidak melakukannya karena belum tahu. Salah satu siswa menjawab pertanyaan guru tersebut dan ternyata jawaban tidak benar, lalu siswa yang lain pun mencoba menjawab. Dari peristiwa ini jelas bahwa siswa yang lain mengharapkan jawaban pertama, kedua, dan seterusnya salah karena siswa berikutnya ingin jawaban mereka sendiri yang benar sehingga mereka mendapat acungan jempol dari sang guru, sedangkan siswa yang lain akan mendapat stempel siswa yang “bodoh”. Apalagi siswa yang tidak mengacungkan tangan akan semakin tersisih dan sama sekali tidak mendapatkan perhatian guru dan perlakuan ini akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan psikologis.
Agar peristiwa yang telah diilustrasikan di atas tidak terjadi di dalam kelas, maka model pembelajaran cooperative learning merupakan model yang tidak bisa ditawar lagi segera diterapkan. Pembelajaran cooperative learning merupakan model pembelajaran yang dirancang untuk menumbuhkan semangat bekerja sama, saling membantu, saling mencintai, saling memahami kelebihan dan kekurangan satu sama lain, saling menerima dan memberi ide/gagasan, saling berargumentasi, berpikir kritis, dan menghargai perbedaan pendapat, saling percaya. Maka metode ini sangatlah tepat digunakan dalam pembelajaran-pembelajaran sekarang ini dan di masa yang akan dating. Jika generasi kita sejak dini sudah dilatih kemampuan di atas, niscaya kejadian-kejadian tawuran antarpelajar, antarmasyarakat, antarmahasiswa mungkin tidak akan terjadi atau paling tidak frekuensinya akan berkurang karena sejak di bangku sekolah mereka sudah dilatih untuk saling mencintai, menghargai perbedaan, menjadi satu dalam perbedaan (hiterogen).
Lie (2004: 28) menyatakan bahwa falsafah yang mendasari model pembelajaran cooperative learning dalam pendidikan adalah falsafah homo homini socius yang berlawanan dengan teori Darwin yang menyatakan bahwa homo homini lupus. Falsafah ini menekankan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Kerja sama merupakan kebutuhan yang sangat penting artinya bagi kelangsungan hidup. Tanpa kerja sama, tidak ada individu, keluarga, organisasi atau masyarakat. Tanpa kerja sama, kehidupan ini sudah punah.
Model pembelajaran cooperative leraning sangat bagus diterapkan dalam pembelajaran di kelas-kelas. Namun, masih jarang para guru yang menggunakan model ini. Pada umumnya mereka khawatir jika menerapkan model ini akan terjadi kekacauan karena para siswa bekerja dalam kelompok. Belum lagi siswa yang memiliki kemampuan lebih dari teman mereka akan merasa dirugikan karena teman yang kurang pandai akan “dompleng” kepada mereka.
Sebenarnya, pembelajaran cooperative learning akan dapat berjalan dengan baik jika guru memahami konsep dasar model ini. Model pembelajran cooperative learning tidak sama dengan sekadar belajar dalam kelompok. Ada unsur-unsur dasar pembelajaran cooperative learning yang membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan asal-asalan. Pelaksanaan prosedur model cooperative learning dengan benar akan memungkinkan guru dapat mengelola kelas dengan lebih baik.
C. Lima Unsur Model Cooperative Learning
Roger dan David Johnson (dalam Lie, 2005:31) mengatakan bahwa tidak semua kerja kelompok bisa dikatakan cooperative leraning. Untuk mencapai hasil maksimal, ada lima unsur model pembelajaran cooperative yang harus diterapkan. Kelima unsur tersebut adalah sebagai berikut.
1. Saling ketergantungan positif
Untuk menciptakan kelompok kerja yang efektif, guru perlu menyusun tugas sedemikian rupa sehingga setiap anggota kelompok harus menyelesaikan tugasnya sendiri agar yang lain dapat mencapai tujuan mereka. Dalam metode Jigsaw, Aronson menyarankan jumlah anggota kelompok dibatasi sampai dengan empat orang saja dan keempatnya ditugasi untuk membaca bagian yang berlainan. Keempat anggota itu lalu berkumpul lalu bertukar informasi.
2. Tanggung Jawab Perseorangan
Unsur ini merupakan akibat langsung dari unsur pertama. Jika tugas dan pola penilaian dibuat menurut prosedur model pembelajaran cooperative learning, setiap siswa akan merasa bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik. Kunci keberhasilan metode kerja kelompok adalah persiapan guru dalam menyusunan tugasnya.
3. Tatap Muka
Setiap kelompok harus diberi kesempatan untuk nertemu muka dan berdiskusi. Kegiatan interaksi akan memberkan siswa untuk membentuk sinergi yang menguntungkan semua anggota. Hasil pemikiran beberapa kepala akan lebih kaya daripada hasil pemikiran satu kepala saja. Lebih jauh lagi, hasil kerja sama ini jauh lebih besar daripada jumlah masing-masing anggota.
Inti dari sinergi ini adalah menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan, dan mengisi kekurangan masing-masing. Setiap anggota kelompok memilki latar belakang pengalaman, keluarga, dan sosial ekonomi yang berbeda satu sama lain. Perbedaan ini akan menjadi modal utama dalam proses saling memperkaya antar anggota kelompok. Para anggota kelompok perlu diberi kesempatan untuk saling mengenal dan menerima satu sama lain dalam kegiatan tatap muka dan interaksi pribadi.
4. Komunikasi Antaranggota
Para siswa perlu dibekali kemampuan untuk berkomunikasi, baik dalam menyampaikan pendapat maupun menyanggahnya. Dengan kemampuan yang dinilikinya diharapkan para siswa dapat mengkomunikasikan setiap gagasannya dalam kelompok dalam rangka menyelesaikan tugas-tugas yang diberikannya.


5. Evaluasi Proses Kelompok
Dalam hal ini guru perlu membuat jadwal bagi kelompok untuk mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka agar selanjutnya bisa bekerja sama lebih efektif. Waktu evaluasi dapat dilakukan setelah mereka melakukan bebera kali kerja kelompok.
D. Model-model Coopetive Learning
Banyak model pembelajaran cooperative learning yangd apat diterapkan dalam pembelajaran di kelas. Model yang dipilih dapat disesuaikan dengan tujuan pembelajara, materi, serta media yang digunakan dalam pemebelajaran. Model-model cooperative learning yang akan disampaikan dalam artikel ini adalah sebagai berikut.
1. Metode Student Team Learning (Pembelajaran Tim Siswa)
Model ini dikembangkan oleh John Hopkins University. Semua anggota tim saling bekerja sama dalam belajar dan bertanggung jawab terhadap teman satu timnya mampu membuat diri mereka belajar sama baiknya. PTS menekankan penggunaan tujuan-tujuan tim dan sukses tim, yang hanya dapat akan dicapai apabila semua anggota tim bisa belajar mengenai pokok bahasan yang telah diajarkan.
Tiga konsep penting dalam metode PTS adalah penghargaan bagi tim, tanggung jawab individu, dan kesempatan sukses yang sama. Tim akan mendapat penghargaan-pengahargaan dari tim lainnya jika tim mampu melampaui criteria tertentu yang telah ditetapkan. Tanggung jawab individu dimaksudkan bahwa kesuksesan tim bergantung pada pembelajaran individual dari semua anggota tim. Tanggung jawab difokuskan pada kegiatan anggota tim dalam membantu satu sama lain. Kesempatan sukses bersama dimaksudkan bahwa semua anggota tim memberikan kontribusi kepada timnya dengan cara meningkatkan kinerja mereka dari yang sebelumnya.
2. Student Team-Achievement Division (STAD)
Dalam STAD, para siswa dibagi dalam tim belajar yang terdiri atas empat orang yang berbeda-beda tingkat kemampuan, jenis kelamin dan latar belakang etniknya Guru menyampaikan pelajaran lalu siswa bekerja dalam tim mereka untuk memastikan bahwa semua anggota tim telah mengasai pelajaran. Selanjutnya, semua siswa mengerjakan kuis mengenai materi secara sendiri-sendiri, di mana saat itu mereka tidak diperbolehkan untuk saling membantu.
3. Team Games-Tournament (TGT)
Metode ini menggunakan cara yang sama dengan model STAD, tetapi menggantikan kuis dengan turnamen mingguan, di mana siswa memainkan game akademik dengan anggota tim lain untuk menyumbangkan poin bagi skor timnya. Siswa memainkan game ini bersama tiga orang pada “meja turnamen”di mana ketiga peserta dalam satu meja tuenamen ini adalah para siswa yang memiliki rekor matemetika terakhir yang sama. Sebuah prosedur “menggeser kedudukan” membuat permainan ini cukup adil. Peraih rekor tertinggi akan mendapatkan 60 poin untuk timnya, tanpa menghiraukandari meja mana ia mendapatkannya. Ini berarti bahwa mereka yang berprestasi rendah akan bermain dengan yang berprestasi rendah atau sebaliknya dan keduanya memiliki kesempatan yang sama untuk sukses. Sama seperti dalam STAD, tim yang memiliki kinerja tinggi akan mendapatkan sertifikat atau bentuk penghargaan tim lain (agar lebih jelas lihat Slavin, 2008:143-186).

E. Kesimpulan
Salah satu metode pembelajaran yang dapat dijadikan sebagai alternative dalam rangka terwujudnya tujuan dari pedagogik transformatif adalah metode pembelajaran cooperative learning. Hal ini sesuai dengan tujuan utama pedagogik transformatif, yakni terwujudnya kehidupan ke arah yang lebih baik. Kehidupan yang baik tidak akan menjadi sebuah kenyataan tanpa adanya kerja sama yang bersifat positif dari seluruh komponen bangsa ini.
Sifat-sifat saling membantu, menghargai, menerima perbedaan, demokratis, berpikir kritis harus ditumbuhkembangkan pada generasi muda sejak dini. Sekolah merupakan wahana yang sangat strategis untuk menanamkan dan menumbuhkan sifat-sifat yang baik tersebut. Untuk itu guru sebagai ujung tombak pendidikan perlu menerapkan cooperative learning mulai sekarang kalau ingin generasi muda kita memiliki sifat-sifat tersebut. Jika generasi yang akan datang sudah dibekali sejak dini sifat-sifat yang baik tersebut, tidaklah mustahil akan tercapai kehidupan yang damai dan sejahtera sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia yaitu menjadi masyarakat yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan hidup dalam keadilan dan kemakmuran.


DAFTAR PUSTAKA

Lie, Anita. 2004. Cooperative Learning. Jakarta: PT Grasindo.
Mulyasa, E. 2007. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: Rosda.
Slavin, Robert E. 2008. Cooperative Learning. Bandung: Penerbit Nusa Media.
Tilaar, H.A.R. 2005. Manisfesto Pendidikan Nasional. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Tim Pustaka Yudistia. 2007. Panduan Lengkap KTSP. Jakarta: Pustaka Yustisia.